- ORGANISASI

Mengamati Prilaku Warga LDII Membumikan Pancasila

JAKARTA UTARA (27/6). Saat pemerintah mencanangkan gerakan membumikan Pancasila, dengan slogan “Pancasila dalam Tindakan”, ternyata LDII telah memulai gerakan Pancasila 2.0 sejak tahun 2012 lalu. Dalam pandangan LDII, Pancasila 2.0 adalah mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pandemi Covid-19 menjadi ujian, sejauh mana nilai-nilai Pancasila secara sosiologis menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan sosial dan krisis moral.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian, mengamati prilaku warga LDII dalam membumikan Pancasila. Penelitian menggunakan menggunakan mixture methodology, campuran pendekatan etic dan emic. Metode tersebut dipergunakan, karena penulis memiliki posisi ganda, yakni peneliti sekaligus pengurus DPP LDII. Pendekatan etic yakni menjelaskan fenomena sosial dari sudut pandang peneliti, atau bagaimana sang peneliti membaca realitas. Hal tersebut menempatkan peneliti harus berpikir secara objektif dan menjauhkan diri sejauh mungkin dari interfensi subjektif terhadap tineliti (objek penelitian). Dengan pendekatan etic, peneliti dapat mengintepretasi dengan hermeunetika terhadap informasi dan dokumen-dokumen mengenai tindak aktor dengan segala konteksnya, maupun teks sebagai ekspresi pikiran dari tineliti. Meskpun demikian, objektivitas tidak bisa 100 persen melalui pendekatan etic.

Sementara, pendekatan emic digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial dari sudut pandang tineliti atau dalam hal ini LDII. Dengan menjadi bagian dari in-group, peneliti dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk melakukan observasi partisipasi dan verstehen ala Max Weber. Hal tersebut dilakukan untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari realitas sosial dan historis tineliti.

Perpaduan antara pendekatan etic dan emic inilah yang menjadi pijakan dalam mengurai, bagaimana ormas Islam dalam hal ini LDII memiliki perhatian yang besar dalam membumikan Pancasila – yang dieskplor oleh pemeritah dalam peringatan Hari Pancasila dengan jargon “Pancasila Sebagai Tindakan”. Dengan demikian, hasil penelitian ini merupakan hasil pembacaan peneliti terhadap cara LDII membumikan Pancasila.

Dengan mixture methodology, penelitian ini menggunakan empat parameter untuk mengukur langkah-langkah LDII dalam membumikan Pancasila, yaitu: 1) Aspek legal formal, yakni sejauh mana Pancasila menjadi asas organisasi. 2) Bagaimana sumbangan pemikiran LDII terhadap Pancasila. 3) Bagaimana program organisasi itu, memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat bangsa dan negara. 4) Bagaimana pemikiran-pemikiran kebangsaan dari LDII. Sebagai catatan, poin empat ini penting, karena masalah dakwah menjadi makanan sehari-hari ormas Islam, namun pemikiran kebangsaan perlu mendapat perhatian yang serius.

 

Sejarah Peran Ormas

Dalam konteks sejarah Indonesia, ormas memiliki sikap voluteerism atau kesukarelaan yang sangat tinggi. Meskipun negara tidak memberikan anggaran untuk berbagai kegiatan, namun mereka memiliki idealisme yang tinggi untuk melayani masyarakat. Pada masa kolonial, jangan memberikan anggaran, pemerinah Hindia Belanda saat itu justru memusuhi ormas. Sifat kesukarelaan ormas tidak berubah dari era kolonial hingga Indonesia merdeka. Ormas berperan aktif dalam melayani warga, agar terbentuk masyarakat makmur, sejahtera, adil, damai, dan toleran.

Ormas-ormas tersebut, tidak dapat disangkal telah berperan membangun civil society. Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, ormas Islam telah bergerak menanamkan nasionalisme, seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdhlotul Wathan, dan lain-lain. Juga ada ormas nonkeagamaan seperti Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, dan sebagainya. Selain ormas Islam, umat agama lain juga menghimpun diri dalam ormas seperti Perkumpulan Pemuda Kristen, dan lain-lain. Bahkan tokoh-tokoh dari ormas juga mengambil peran aktif dalam kelahiran Pancasila dan NKRI dalam berbagai sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Ormas-ormas Islam itu berperan sangat penting, bahkan mereka berani melawan rezim kolonial. Mereka menyadari kolonialisme yang menjadi sumber dominasi politik, monopoli ekonomi, dan hegemoni kultural menyebabkan terjadinya penindasan, pemerasan, pelanggaran moral, penghinaan, pelecehan, pembodohan, dan sebagainya. Bahkan, dulu ada kolam renang dan gedung-gedung sosialita milik bangsa Eropa yang memiliki plakat bertuliskan anjing dan pribumi dilarang masuk. Hal itu menunjukkan kolonial memandang rendah bangsa Indonesia. Mereka membangun hegemoni kultural bahwa inlander memiliki posisi rendah dalam masyarakat. Hegemoni tersebut berusaha dilawan oleh ormas, dengan semangat nasionalisme dan patriotisme. Ormas-ormas Islam tersebut memiliki serta altruisme, yakni rela berkorban untuk kepentingan umum, mewujudkan kesejahteraan, untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran, moral keagamaan, harga diri, dan sebagainya. Mereka mewujudkan semangat itu melalui kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan agama.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, peran tersebut tidak hilang. Mereka terlibat dalam perang kemerdekaan, bahu membahu dengan Tentara Nasional Indonesia melawan kedatangan penjajah. Mereka membentuk laskar-laskar untuk melawan secara fisik kekuatan asing yang ingin menjajah Indonesia kembali. Mereka juga rela mengerahkan sumberdaya berupa tenaga dan pikiran serta biaya, untuk kepentingan masyarakat pada bidang sosial, budaya, ekonomi, religi dan lain-lain. Bila ormas bergerak pada bidang sosial, partai politik bergerak pada aras politik. Aktivitas parpol itu, merupakan cermin dari hasrat ingin berkuasa untuk menentukan kebijakan ekonomi secara suprastruktur. Oleh karena itu, kekuasaan menjadi orientasi agar bisa menentukan haluan dan ideologi negara.

Dengan demikian, dengan perbedaan aktivitas antara ormas dan parpol, pemerintah jangan memandang sebelah mata keberadaan ormas yang konstruktif. Mereka bekerja keras membumikan Pancasila tanpa anggaran dari pemerintah. Tanpa mengeluarkan triliunan rupiah, sudah sepantasnya pemerintag bersyukur dan merangkul ormas. Mereka perlu digandeng, agar menjadi kekuatan yang bersinergi dengan negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Pascakemerdekaan, peran ormas dapat dilihat pada era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Era Orde Lama atau zaman politik jilid I, kekuasaan organisasi politik merambah dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sejarah Indonesia sangat kaya dengan kisah parpol menginfiltrasi dan mencoba mengkooptasi ormas, untuk memperoleh dukungan suara dalam sistem demokrasi kita. Pada zaman Orba, negara relatif bisa mengekang ormas karena dicurigai menjadi calon pesaing negara dalam politik. Pada masa itu, Orba berhasil mengontrol kekuatan konglomerasi.

Pada era Reformasi, terjadi perubahan besar. Demokrasi memberi kesempatan kepada kekuatan-kekuatan konglomerasi ekonomi yang dulu dikontrol Orba, berubah menjadi oligark dan vested interest yang berusaha menjadi invisible hand. Mereka mengkooptasi kekuatan organisasi politik dan lembaga-lembaga negara, karena sistem demokrasi berbiaya tinggi memungkinkan konglomerasi membiayai kegiatan politik parpol. Biaya politik tinggi yang menjadi pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan ekonomi untuk membangun kekuasaan dalam ruang politik, baik itu terhadap ormas, parpol, bahkan hingga birokrasi.

Bagaimana LDII pada masa Orde Baru dan Reformasi? LDII tidak mudah melewati dua era tersebut, dalam upayanya mempertahankan marwah ormas Islam di tengah pergulatan antara kekuatan negara, pasar bebas, dan civil society. Abad 21 menempatkan ormas di Indonesia dalam tekanan kekuatan pasar bebas yang mengkooptasi negara. Pasar bebas dengan segala bentuk turunannya, mempengaruhi prilaku manusia di berbagai penjuru dunia agar menjadi masyarakat yang komsutif dan menjadi pasar yang baik bagi konglomerasi ekonomi.

Peran LDII Membumikan Pancasila

Sebelum membahas peran LDII dalam membumikan Pancasila, perlu diketahui asal mula ormas Islam tersebut. Kelahiran LDII tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Lembaga Karyawan Islam (Lemkari) yang lahir 1 Juli 1972. Lemkari lahir dalam suasana otoritarianisme Orde Baru, dengan partainya Golkar. Pertautan antara Lemkari dan Golkar terjadi menjelang Pemilu 1971. Kala itu, Golkar ditinggal 13 ormas Islam yang bergabung dengan partai-partai Islam. [1]

Mereka meninggalkan Golkar karena kecewa, aspirasi untuk memasukkan dasar-dasar Islam ke dalam kenegaraan Indonesia tidak bisa terealisasi. Bahkan Orba menempatkan Islam politis sebagai ektrem kanan. Sehingga menjelang pemilu, Orba ditinggalkan ormas-ormas Islam. Golkar agak kesepian, lalu mendekati Pondok Pesantren (Ponpes) Burengan yang dipimpin Kyai Haji Nurhasan. Lantas, terciptalah hubungan mutual simbiosis. Pada satu sisi, pemerintah mendukung Ponpes Burengan dan Kyai Haji Nurhasan. Sementara pemerintah membutuhkan dukungan dari elemen-elemen Islam untuk memenangkan Golkar di Jawa Timur, yang merupakan basis Islam dan pendukung Sukarno. Dukungan para kyai di Ponpes Burengan terhadap Orba dan Golkar, juga didasarkan pada renungan mereka terhadap masa depan Indonesia, yang mendasarkan ideologinya pada Pancasila, bukan pada agama tertentu atau ideologi lain.

Pada Pemilu 1971, Ponpes Burengan ikut membantu Golkar dalam memenangi Pemilu di Jawa Timur hingga seluruh Jawa. Kyai Haji Nurhasan dan para santrinya, saat itu mengandalkan atraksi motor gede untuk memikat perhatian massa. Bahkan dalam beberapa kesempatan Kyai Haji Nurhasan dan para pengikutnya menampilkan atraksi bela diri. Berbagai atraksi yang menarik perhatian massa itu, sangat membantu Golkar dalam memenangi Pemilu di Jawa. Orba yang sangat hegemonik itu pada akhirnya membuat Lemkari menjadi bagian dari “Keluarga Besar Golkar” – untuk tidak mengatakan sebagai underbow partai berlambang beringin tersebut.

Pada 1990, setelah berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), ormas tersebut tetap menjadi bagian keluarga besar Golkar. Namun pada saat Reformasi, LDII menjadi ormas yang independen tidak berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

LDII sejak masih bernama Lemkari telah membumikan Pancasila bisa dilihat dari basis legal formalnya. Dari dokumen akta pendirian organisasi, berdasarkan  akta notaris Mudijomo yang dibuat 1972 ditemukan, bahwa Lemkari sebagai embrio LDII merupakan ormas Islam berasaskan dan berjiwa Pancasila. Di dalam mukadimah akta pendirian Lemkari, disebutkan pula bahwa Lemkari bersemangat dalam andil mewujudkan masyarakat yang adil  dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lemkari sudah bicara tentang Pancasila, jauh sebelum UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Ormas mengharuskan semua ormas berasas Pacasila. Lalu pada Bab II mengenai dasar, tujuan, dan sistem tertulis Lemkari berdasarkan Islam serta berasaskan Pancasila dan UUD 1945.

Kala itu, ormas Islam menggunakan asas Pancasila masih dianggap aneh. Akibatnya, Lemkari dikucilkan oleh ormas-ormas Islam lain, bahkan dianggap eksklusif karena tidak menjadikan Islam sebagai asas utama. Dari sisi afiliasi politik, Lemkari juga dianggap aneh karena berada dalam naungan parpol nasionalis.

Lemkari menggunakan Pancasila sebagai asas, bukan semata-semata karena terkait aliansinya dengan Golkar – yang saat itu berpolitik dengan jargon kembali ke Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Perlu diketahui, Lemkari mengambil asas Pancasila penuh dengan kesadaran dan risiko. Para tokoh pendiri Lemkari menyadari risiko yang sangat tinggi, yakni melawan arus pemikiran ormas-ormas Islam saat itu. Sebab, pada awal 1970-an, pesantren-pesantren di Indonesia khususnya di Jawa Timur cenderung mendukung parpol-parpol Islam. Pada 1985, civil Islam di Indonesia mengalami ujian dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1985, yang mewajibkan semua ormas menjadikan Pancasila sebagai asas utama. Lemkari menerima hal tersebut tanpa syarat. Pada Bab 2 Pasal 2, Lemkari mengubah anggaran dasarnya, dengan menyebutkan Pancasila sebagai asas, yang sebelumnya menyebutkan Islam dan Pancasila. Perubahan tersebut dilaksanakan pada Mubes III, pada Mei 1986.

Selanjutnya, bagaimana pemikiran LDII mengenai Pancasila? Sebagai lembaga dakwah, LDII tidak membuat Pancasila mandek pada tataran verbal, tetapi juga diamalkan. Pertama, intisari pemikiran LDII dalam kontruksi keindonesiaan, yang pertama adalah bahwa sila pertama dari Pancasila harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai sila-sila yang lain. LDII juga berpendapat sila pertama tidak dijadikan bingkai, tetapi sebagai pondasi. LDII melihat risiko, penempatan sila Pancasila sebagai bingkai atau wadah, sangat memungkin ideologi tertentu berubah menjadi ideologi negara. Hal tersebut, bisa menjadi bibit konflik yang berkepanjangan karena kondisi bangsa dan negara yang plural, baik dari sisi agama maupun kepercayaan. Maka agama harus ditempatkan sebagai fundamen bukan wadah.

Upacara Bendera 17 Agustus di Pondok Pesantren Syarif Hidayatullah - Jakarta Utara

Kedua, dengan memahami sifat dan jiwa yang tergali dalam sejarah lahirnya Pancasila, LDII melihat yang patut untuk menjadi bingkai dari konstruksi keindonesiaan adalah sila Persatuan Indonesia. Dengan demikian, rumusannya adalah apapun agama yang dipeluk (sesuai Sila Pertama), apapun aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan (Sila kedua), bentuk demokrasi apapun yang dijalankan (Sila keempat) dan model keadilan yang dibayangkan (Sila kelima) tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI (Sila ketiga).

Dengan demikian, pemikiran LDII dapat disimpulkan bahwa sila pertama adalah pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, maka sila kedua adalah aspek kemanusiaan, sila keempat megenai demokrasi sebagai semangat dan cara mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Kelima sila tersebut tidak bisa dibeda-bedakan, bahkan saling melengkapi. Bila dikristalisasi, di mata LDII bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh. Mengapa? Karena tidak punya pondasi religiusitas yang kuat sebagaimana sila pertama, dan bangsa Indonesia bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas seperti sila ketiga. Bangsa Indonesia juga kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas, sesuai sila kelima. Bahkan tanpa Pancasila, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak beradab, karena tidak punya kemanusiaan, tidak memiliki gotong-royong, karena tidak ada sila kedua dan keempat.

Kontribusi LDII yang lain adalah pemikiran mengenai terwujudnya Pancasila 2.0. Terminologi tersebut diadopsi dari pola perkembangan teknologi informasi. Bila 1.0 adalah Pancasila yang hanya indah diucapkan, maka bila bicara 2.0 adalah Pancasila yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila 2.0 dicanangkan LDII pada 26 Juli 2012 silam, jauh sebelum jargon “Pancasila dalam Tindakan”. Saat itu, DPP LDII menggelar seminar wawasan kebangsaan mengenai Pancasila terkait dengan perayaan hari lahir Pancasila. Selanjutnya pada Munas 2018, Pancasila 2.0 diwujudkan LDII dalam delapan bidang pengabdian LDII untuk bangsa: wawasan kebangsaan, dakwah Islam, pendidikan umum, ekonomi syariah, pertanian dan lingkungan hidup, kesehatan dan pengobatan herbal, teknologi informasi, dan energi baru terbarukan. Delapan program tersebut, menunjukkan LDII memiliki kesalehan vertikal dan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. LDII bahkan memiliki kiat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, yakni dalam berbicara harus pahit madu (sopan santun, bahkan madu yang manis dikatakan pahit, karena pentingnya kesantunan), jujur, bisa dipercaya dan mempercayai, sabar dan berebut mengalah (sabar keporo ngalah), tepa selira, tidak saling merusak, dan menjaga perasaan. Semua ini nilai-nilai luhur yang berasal dari Pancasila yang diinternaslisasi kepada para santri, siswa, dan warga LDII.

Selanjutnya, bagaimana peran LDII dalam program kebangsaan. Sejak Lemkari berdiri, para tokohnya telah memberi perhatian besar pada kebangsaan, yang dapat dilihat dari akte pendiriannya maupun dari program-program kerhanya. Dalam delapan program kerja LDII, kebangsaan ditempatkan pada yang pertama, karena sebagai ormas Islam, dakwah merupakan makanan sehari-hari, untuk itu kebangsaan menjadi program pertama. LDII melihat pentingnya program kebangsaan, yang menempatkan Indonesia menjadi rumah bersama, menjadi surga semua agama, etnik, ras, golongan dan suku bangsa.

Kemudian yang keempat bagaimana LDII membumikan Pancasila, dapat dilihat dari dakwahnya dalam memandang kebhinekaan dan toleransi. LDII melihat intoleransi atau ketidamauan toleransi adalah sumber konflik yang paling dasar, baik konflik internal antara umat Islam atau antar umat beragama. Pandangan tersebut lahir dari pengalaman sejarah, bahwa LDII sudah kenyang dengan sikap keras dan menghakimi kebenaran telah menjadi bibit konflik yang serius. Ini menjadi beban sejarah LDII yang paling berkelanjutan, untuk itu para generasi muda LDII berusaha menerapkan paradigma baru. Mereka berusaha membina warganya, guna merumuskan sikap toleransi dalam kehidupan beragama di dalam wadah NKRI, berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Upacara Bendera 17 Agustus di Pondok Pesantren Syarif Hidayatullah - Jakarta Utara

LDII dalam memandang perbedaan, kebhinekaan, ihtilafiyah, firqoh, merupakan fenomena telah, sedang dan selalu dihadapi kaum muslimin. Dengan demikian, ormas itu memandang perbedaan itu sebagai sunnatullah. Maka, meskipun berbeda-beda harus selalu ada usaha dari LDII untuk saling mengenal, saling memahami, dan akhirnya saling tolong-menolong. Ihtilafiyah merupakan realitas masa kini dan masa depan. Dengan demikian diakui atau tidak, perbedaan adalah inheren dalam umat Islam. Bangsa Indonesia itu lahir bukan karena kesamaan, tapi lahir karena sadar dengan adanya keberagaman.

Kesimpulannya, membaca LDII dalam membumikan Pancasila merupakan kontribusi ormas dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, sangat disayangkan bila tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan ormas-ormas lainnya. Dengan membumikan Pancasila, LDII berusaha menciptakan hidup rukun bersama sebagai salah satu elemen penting kebangsaan Indonesia. Kondisi tersebut sangat memungkinkan menghimpun segala potensi dalam rangka kemajuan bangsa. Untuk itu, ormas-ormas Islam jangan menghabiskan energi untuk persaingan dan konflik. Biarlah itu terjadi di dunia parpol. Sementara dunia ormas (civil society) haruslah tetap bergandengan tangan, mengubah paradigma konflik dan bersaing menjadi paradigma bersanding. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur.

 

Oleh : Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. (Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro dan Ketua DPP LDII).

Catatan kaki:

[1] Terdapat 13 ormas Islam yang meninggalkan Golkar Muhammadiyah, Al Jamiatul Wasliah, Gasbiindo, Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam, Persatuan Organisasi Buruh Islam se-Indonesia (PORBISI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Pembina Iman Tauhid Islam yang kemudian berubah menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI),  Al Irsyad, dan Wanita Islam (AE Manihuruk, “Proses Perkembangan Golkar Sampai dengan Munas I Golkar 1973”, dalam: DPP Golkar, Memperingati 25 Tahun Golkar (Jakarta, 1990), hlm. 118.

Sumber : Kompasiana.com https://bit.ly/3OCi8gk

 

 

 

 

 

 

Social Media Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *